Sekolah Lapangan Tambak, Jadi Solusi Budidaya Berkelanjutan | Webinar Series #2

Sekolah Lapangan Tambak, Jadi Solusi Budidaya Berkelanjutan | Webinar Series #2

​FPIK, SEMARANG – Departemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (FPIK UNDIP), pekan lalu menyelenggarakan Webinar bertajuk Aquaculture Supporting Mangrove seri ke-2 dengan tema Coastal Field School atau Sekolah Lapangan Tambak pada Rabu (09/06/2021). Webinar seri ke-2 ini menghadirkan sejumlah expert, akademisi dan praktisi lapangan yaitu Benjamin Brown, Ph.D (Charles Darwin University), Syafruddin, S. P (Balai Proteksi Tanaman pangan dan hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan), Ratnawaty Fadilah, M.Si (Departemen Teknologi Pertanian Universitas Negeri Makassar), Weningtyas Kismorodati, M.Si (community development).

Benjamin Brown, Ph.D. selaku Chief Technical Advisor Yayasan Hutan Biru menjelaskan berkaitan dengan webinar seri ke-1, tanggal 2 Juni lalu mengenai Associated Mangrove Aquaculture (AMA), Ben mengatakan bahwa AMA yang diterapkan oleh proyek Building with Nature di Kabupaten Demak menawarkan solusi yaitu pemberian insentif untuk “mengorbankan” sebidang tambak budidaya sepanjang 20 meter untuk rehabilitasi bakau. Mangrove yang terbentuk tersebut kemudian terhubung secara hidrologis dengan ekosistem sungai dan pesisir sehingga mampu mengurangi guncangan dan gangguan seperti banjir. Pendekatan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) tersebut bersama-sama dengan pelaksanaan sekolah lapangan (SL) pembudidaya akan menghasilkan praktik pengelolaan yang lebih baik.

Syafruddin, fasilitator SL dari Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan yang menjelaskan SL memiliki kelebihan antara lain meningkatkan kemampuan observasi dan pengetahuan petani atau petambak melalui pembelajaran berbasis penemuan, membangun kepercayaan diri dan meningkatkan kapasitas pengambilan keputusan dan memecahkan masalah, mengubah keyakinan dan perilaku yang telah berakar, mendorong budidaya yang ramah lingkungan. Sedangkan kekurangannya adalah waktu pelaksanaannya cukup, membutuhkan fasilitator yang berpengalaman, biaya cukup mahal. Agar SL bisa berjalan secara efektif dan komprehensif (dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial) diperlukan desain kegiatan yang menarik agar semangat peserta selalu terjaga serta desain monitoring dan evaluasi yang efektif.

Ratna Fadilah dari Yayasan Hutan Biru Makassar, Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa SL dikembangkan sebagai respon terhadap pendekatan pelatihan dan pemberdayaan yang secara umum biasa dilaksanakan namun hasilnya tidak efektif.  SL Tambak melakukan pendekatan yang bersifat inovatif, partisipatif, dan interaktif yang menekankan pada pembelajaran berdasarkan penemuan dan penyelesaian masalah agar masyarakat pesisir mampu membangun rasanya percaya diri serta memperluas pengetahuan lokal secara berkelanjutan.

Keberhasilan SL Tambak juga sangat tergantung pada keberhasilan pengorganisasian kelompok petambak. Weningtyas menegaskan bahwa pengorganisasian kelompok petambak akan memudahkan pencapaian tujuan SL. Durasi waktu Sekolah Lapangan Petambak adalah minimal 1 siklus budidaya tambak (± 3 – 4 bulan) atau berdasarkan topik kultivan yang dipelajari. Di akhir sesi webinar, peserta diajak untuk membandingkan antara demplot pembelajaran dan kebiasaan/pembanding. Hasil akhir SL adalah proses pemahaman secara menyeluruh (holistik) anggota kelompok belajar terhadap persoalan dan penemuan solusi (munculnya critical thinking), bukan mengenai kuantitas atau nominal hasil panen semata.

Secara khusus, Prof. Sri Rejeki, Restiana W. Ariyati dan Lestari L. Widowati dari Departemen Akuakultur FPIK UNDIP memaparkan pelaksanaan Sekolah Lapang di Kabupaten Demak. Sekolah Lapangan berperan secara efektif dalam meningkatkan produksi tambak melalui penerapan teknologi Budidaya Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (LEISA), sehingga mampu meningkatkan pendapatan pembudidaya. 

Prof. Sri Rejeki bersama tim memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada lebih dari 270 petambak di 10 desa di Kabupaten Demak dari tahun 2016 – 2019.  Materi yang diberikan antara lain: Cara Budidaya Ikan yang Baik; pengolahan tambak yang benar; pemantauan kualitas air tambak (pH, salinitas, suhu, oksigen terlarut); pengamatan warna air tambak dengan color card untuk mengetahui pertumbuhan plankton setelah pemberian MOL (pupuk cair) dan penerapan LEISA untuk budidaya tambak yeng berkelanjutan. Selama 3 tahun penerapan LEISA di 10 tersebut memiliki dampak positif yaitu petambak yang telah mengikuti SL mengalami peningkatan produksi bandeng sebanyak 2 kali lipat (200%), peningkatan produksi udang sebanyak 25-50% serta memperkecil resiko kegagalan panen.

Seri ke-2 dari rangkaian 3 Webinar Associated Mangrove Aquaculture yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom dan live streaming YouTube ini diinisiasi oleh Wetland International dan Ecoshape Foundation, dengan kontribusi partner Departemen Akuakultur FPIK UNDIP, NGO Blue Forest dan Wetland Internasional Indonesia.  Antusiasme peserta terlihat dalam sesi QnA yang dipandu oleh moderator Ibu Woro Yuniati. Diskusi berlangsung menarik dengan para narasumber dan Dr. Roel H. Bosma yang ikut berpartisipasi dari Wageningen, The Netherlands melalui platform Zoom. Webinar seri ke-2 ini dapat dilihat secara online melalui tautan YouTube Official FPIK UNDIP. (Sumber: undip.ac.id | Tim Humas UNDIP)

Perlindungan Pesisir Laut, Gunakan Konsep Eksistensi Tambak dan Hutan Mangrove | Webinar Series #1

Perlindungan Pesisir Laut, Gunakan Konsep Eksistensi Tambak dan Hutan Mangrove | Webinar Series #1

FPIK, SEMARANG – Departemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (FPIK UNDIP) memperkenalkan konsep baru dalam perlindungan pesisir laut, yakni hutan mangrove dan eksistensi tambak bagi petani. Konsep baru ini dinilai berhasil dalam menjaga ketiganya terhadap ancaman abrasi dan penurunan permukaan tanah di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura). Guru Besar Departemen Akuakultur FPIK UNDIP, Prof. Dr. Sri Rejeki menjelaskan konsep baru ini bernama Associated Mangrove Aquaculture (AMA) atau sistem tambak terhubung mangrove.

Latar belakang konsep AMA ini adalah adanya penurunan permukaan tanah yang disebabkan berbagai faktor. Mulai dari masifnya penggunaan air tanah, penebangan hutan mangrove yang akhirnya menyebabkan 640 hektar tambak hilang di Kabupaten Demak dan 900 hektar lainnya terdampak akibat penurunan tanah maupun abrasi. Abrasi mengakibatkan morfologi pantai berubah dan garis pantai berpindah. Akibatnya, kualitas lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat juga berubah. Apalagi, banyak petambak yang mulai kehilangan tambak dan menyebabkan pengangguran serta kemiskinan baru. “Konsep AMA ini berbeda dengan sebelumnya, silvofishery. Di mana mangrove tidak ditanam di pematang atau di dalam tambak,” kata Sri Rejeki dalam Webinar Series #1Aquaculture Supporting Mangrove”, yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.

Dalam webinar yang dibuka oleh Dekan FPIK UNDIP, Prof. Dr. Tri Winarni Agustini tersebut menampilkan sejumlah narasumber, yaitu Project Manager and Researcher at The Chair Group Aquaculture and Fisheries (AFI) 2001 – 2019, Dr Roel H Bosma; Dosen Departemen Akuakultur FPIK UNDIP, Restiana Wisnu Ariyati MSi; Pengembang Komunitas pada Building with Nature Project yang memfasilitasi perencanaan 9 desa di Kabupaten Demak, Eko Budi Priyanto; dan peneliti Deltares, Ira Wardani.

Prof. Sri Rejeki menyampaikan umumnya tambak di pinggir sungai atau laut punya tanggul dengan lebar yang sempit atau langsung terhubung dengan badan air tanpa proteksi apapun. Sehingga rawan rob atau gelombang air laut. Konsep silvofishery yang menumbuhkan mangrove di dalam tambak atau pematang, kenyataanya hasil kurang optimal untuk budidaya maupun perlindungan pesisir. Karena penurunan kualitas air dan mangrove terlalu rimbun tanpa perawatan. Sistem AMA, pada prinsipnya adalah memperlebar tanggul yang berbatasan dengan sungai atau laut. “Hal itu sebagai sarana menumbuhkan mangrove untuk green belt. Misal, tambak dengan lebar kurang dari 30 meter dari tepian aliran sungai atau laut, disarankan seluruh tambak sebagai sabuk hijau. Jika di atas 30 meter, maka bangun green belt 10 meter. Caranya dengan mundurkan tanggul tambak dengan membuat tanggul baru secara bertahap. Melalui cara ini biasanya mangrove akan tumbuh seiring terbentuknya sedimen. Kemudian dibangun tanggul baru berikutnya. Prinsip AMA, mangrove tak berada atau tidak ditanam di pematang atau di pelataran tambak. Konsep lama, silvofishery, di mana pantai dan pematang tambak tak terlindungi’’ ujarnya.

Project Manager and Researcher at The Chair Group Aquaculture and Fisheries (AFI) 2001 – 2019, Dr. Roel H Bosma menjelaskan banyak negara yang abai terhadap hutan mangrove ini. Di sepanjang Pantura Jawa, kerusakan hutan mangrove menyebabkan hilangnya permukiman, infrastruktur dan ratusan hektare tambak. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan dengan melindungi hutan mangrove yang tersisa. “Kurangi penggunaan air tanah, peningkatan SDM masyarakat melalui pelatihan, mengganti tambak dengan mangrove,” katanya.

Foto: Dekan FPIK UNDIP Prof. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc., Ph.D. sedang melakukan sambutan pada acara webinar series #1 Aquaculture Supporting Mangrove. 

Dalam sambutannya Dekan FPIK UNDIP, Prof. Dr. Tri Winarni Agustini mengatakan webinar tersebut akan terbagi menjadi tiga series. Dua webinar lanjutan akan diselenggarakan dua pekan mendatang. “Ini momen bagus untuk mencermati tentang peran akuakultur dalam berkontribusi untuk pemulihan ekosistem mangrove,” tutur Tri Winarni.

Ketua Departemen Aquakultur FPIK UNDIP, Dr. Sarjito MAppSc sangat mengapresiasi terselenggaranya webinar ini. Webinar ini merupakan kolaborasi internasional dan disebar luaskan pada stakeholder pada bidang perikanan budidaya khususnya. Pembaharuan konsep, pola pikir dan teknologi akan terus dilakukan oleh peneliti – peneliti departemen ini untuk mendukung budidaya ramah lingkungan dan dalam meningkatkan ekonomi pesisir.

Di akhir sesi, Lestari Widowati, M.Si selaku master of ceremony sekaligus moderator, memandu diskusi beberapa pertanyaan dari peserta melalui zoom meeting dan YouTube channel. Isu kepemilikan lahan, banjir rob, dan peningkatan produksi udang pada system AMA menarik antusiasme dari peserta webinar dan menjadi bahan diskusi yang menarik. Ucapan terima kasih kepada para donor dari Ecoshape foundation dalam project Building with Nature Indonesia disampaikan oleh Riri untuk mengakhiri webinar sesi 1 ini. (Sumber: undip.ac.id | Tim Humas UNDIP)

Manfaat Keahlian Menyelam dan Peluang Kerja di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP

Manfaat Keahlian Menyelam dan Peluang Kerja di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP

FPIK, SEMARANG – Salah satu program yang dimiliki Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (FPIK UNDIP) yaitu program training dan sertifikasi Selam Keahlian di Kepulauan Karimunjawa Jepara. Program yang sudah berjalan empat tahun sejak tahun 2016 hingga tahun 2019 melalui kerja sama dengan Kwansei Gakuin University (KGU) Jepang cukup diminati para mahasiswa reguler maupun mahasiswa asing.

“Program training yang disebut Introduction to Scientific Diving ini sudah berjalan 4 tahun sejak 2016 hingga 2019 dan berhenti karena pandemi virus corona (Covid-19)”, jelas Dr. Munasik dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Kelautan FPIK UNDIP dalam wawancara pada Sabtu (19/6/2021). Beliau menambahkan kegiatan training ini adalah Kuliah Musim panas, Summer Course dihargai dengan 1-2 Satuan Kredit Semester (SKS).

Disampaikan pula bahwa capaian pembelajaran dari kegiatan ini adalah mahasiswa mampu menyelam SCUBA dan tersertifikasi sebagai Open Water Diver dari Association of Diving School International ADS-I. Di samping itu dosen-dosen juga memberikan materi kuliah tentang ekosistem kelautan tropis yaitu terumbu karang, mangrove dan lamun.

“Selain memberikan Training Scuba Diving, kita juga mendidik mereka untuk peduli terhadap ekosistem laut, mengunjungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dan terlibat dalam perbaikan terumbu karang”, imbuhnya.

Keahlian menyelam inilah yang membuat mahasiswa FPIK UNDIP diminta bantuan oleh Tim SAR daerah Jawa Tengah untuk membantu operasi pencarian korban tenggelam perahu wisata yang terbalik di Waduk Kedung Ombo, Kabupaten Boyolali pada pertengahan bulan Mei yang lalu. Juga beberapa kegiatan kemanusiaan lainnya yang berhubungan dengan kecelakaan di dalam air.

Foto: Seorang mahasiswa FPIK sedang melakukan scuba water entry di Perairan Karimunjawa, Kabupaten Jepara

FPIK UNDIP memiliki 6 departemen, meliputi Departemen Akuakultur, Departemen Sumber Daya Akuatik, Departemen Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan, Departemen Oseanografi dan Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Didukung dengan pengajar yang berkompetensi dengan kualifikasi 55 diantaranya bergelar doktor yang diperkuat oleh 19 Guru Besar aktif saat ini.

Alumni FPIK UNDIP telah tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan diberbagai bidang baik di pemerintahan, pendidikan, kesehatan, TNI, perusahaan swasta, BUMN maupun wirausahawan. Tidak sedikit pula lulusan FPIK UNDIP yang memegang posisi strategis seperti Sakina Roselasari sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah, kemudian Ir. Haris Muhtadi sebagai Direktur Marketing Aquafeed sekaligus Ketua GPMT, ditambah lagi A. Karding sebagai politisi, Benaya Semeon aktif di Wildlife Conservation Society (WCS), Widhya Nugroho Satrioajie, S.Pi., M.Si. sebagai Peneliti Ahli Muda Pusat Penelitian Biologi di Cibinong Science Center LIPI, Herda Bolly sebagai Quality Control di perusahaan makanan asing Belanda, Kharisma R. Dahono sebagai Manager Bank Mandiri, dan Sudiarso sebagai pengusaha PT Kurinia Mitra Makmur.

“Ini menunjukkan bahwa lulusan FPIK UNDIP memiliki peluang untuk bekerja di berbagai bidang”, ungkap Dekan FPIK UNDIP Prof. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc., Ph.D pada wawancara terpisah pada Minggu (20/6/2021). Lebih lanjut Prof. Tri Winarni menyampaikan bahwa mahasiswa tidak hanya belajar yang berkaitan dengan keilmuan, tetapi juga diberikan materi yang berkaitan dengan manajemen dan bisnis. “Sehingga lulusan FPIK UNDIP tidak sebatas menyelami perairan, namun mampu berselancar ke berbagai dunia kerja dan memiliki banyak peluang diantaranya menjadi peneliti, pendidik, pengembang akuakultur, konsultan, ahli konservasi, instruktur akuakultur, manajer, pengusaha hingga anggota parlemen”, pungkasnya. (Utami | Tim Humas UNDIP)

Mahasiswa FPIK dan Mahasiswa Jepang Perbaiki Terumbu Karang di Karimunjawa

Mahasiswa FPIK dan Mahasiswa Jepang Perbaiki Terumbu Karang di Karimunjawa

FPIK, SEMARANG – Kegiatan kuliah sekaligus training dan sertifikasi Selam Keahlian yang digelar Program Studi (Prodi) Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro (UNDIP) di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara patut didukung. Pasalnya, program yang sudah berjalan empat tahun sejak tahun 2016 hingga tahun 2019 melalui kerja sama dengan Kwansei Gakuin University (KGU) Jepang cukup diminati para mahasiswa reguler maupun mahasiswa asing.

Dosen Ilmu Kelautan FPIK UNDIP, Dr Munasik, saat diwawancara melalui telepon, Jumat (19/6/2021), mengatakan program training yang disebut Introduction to Scientific Diving ini sudah berjalan 4 tahun sejak 2016, 2017,2018, 2019 dan berhenti karena pandemi virus corona (Covid-19).

Beliau mengatakan, kegiatan training ini adalah Kuliah Musim Panas, Summer Course dihargai dengan 1-2 Satuan Kredit Semester (SKS). “Awalnya, pada tahun 2016 Prodi Ilmu Kelautan mengeluarkan transfer kredit 1 SKS untuk mahasiswa Jepang. Karena berlangsung lebih dari 10 hari, mahasiswa Jepang yang mengikuti training dan kemudian mendapatkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dari Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK),” tambah Munasik.

Dijelaskan juga, capaian pembelajaran dari kegiatan ini adalah mahasiswa mampu menyelam SCUBA dan tersertifikasi sebagai Open Water Diver dari Association of Diving School International (ADS-I). Di samping itu dosen-dosen juga memberikan materi kuliah tentang ekosistem kelautan tropis yaitu terumbu karang, mangrove dan lamun. “Kita juga mendidik mereka untuk peduli terhadap ekosistem laut, mengunjungi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dan terlibat dalam perbaikan terumbu karang,” jelasnya.

Mahasiswa juga diajak melakukan transplantasi karang pada substrat terumbu buatan APR (Artificial Patch Reef) yang telah disiapkan.  Setiap penyelam yang melakukan transplantasi karang memasang tanda, tagging nama sehingga menyerupai program coral adoption. “Ternyata para penyelam memiliki kesan yang mendalam terhadap kegiatan ini dan berharap fragmen karang hasil transplantasinya dapat tumbuh dan di kemudian hari mereka dapat menyaksikan hasil pertumbuhan koloni karangnya. Ini akan mendorong program wisata partisipatif, wisatawan akan berminat untuk kunjungan berikutnya,” kata Koordinator Artificial Habitat Research Group UNDIP ini.

Foto: Dr. Ir. Munasik, M.Sc

Menurut dosen Program Studi Ilmu Kelautan ini, program wisata terumbu buatan tersebut akan berpotensi sebagai objek wisata alternatif bawah air dan akan berdampak terhadap variasi obyek wisata di Karimunjawa karena dapat dipasang di berbagai lokasi perairan dangkal pulau-pulau kecil di Karimunjawa.  Program ini juga berbasis masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam penyediaan bibit fragmen karang untuk diadopsi oleh wisatawan. “Atraksi wisata bawah air ini juga dapat mendidik masyarakat dan wisatawan untuk sadar lingkungan. Dan tentunya obyek wisata terumbu buatan dapat berkontribusi memperbaiki ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan,” ujarnya.

Foto: Pemasangan Artificial Patch Reef oleh UNDIP dan KGU 

Mengapa memilih Karimunjawa? Munasik mengatakan, karena di sana merupakan satu-satunya situs ekosistem laut tropis yang lengkap dan masih terjaga. Ia juga bercerita, ketika berkunjung ke KGU Senda Jepang, di awal 2018, program ini sangat terkenal dan menjadi favorit bagi mahasiswa KGU, di samping mahal juga sangat menantang. Mereka harus bisa berenang dan sehat.

Hasilnya, mahasiswa asing yang mengikuti untuk Scientific Diving ini dari tahun ke tahun meningkat dari 4 mahasiswa dengan 2 profesor pendamping dan admin kemudian meningkat sampai 8 orang ditambah pendamping. “Program ini, seharusnya menjadi model paket pariwisata edu-ekowisata yang khas Karimunjawa sehingga akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat Karimunjawa. Karena kami memadukan training selam, kuliah koralogi dan ecotourism. Apa itu, hasil produk riset kami yang disebut dengan terumbu buatan APR bisa menjadi atraksi wisata bawah air yang baru bagi wisatawan,” harapnya. (Sumber: undip.ac.id | Tim Humas UNDIP)

Times Higher Education Asia University Rankings 2021: UNDIP Nomor 6 di Indonesia

Times Higher Education Asia University Rankings 2021: UNDIP Nomor 6 di Indonesia

FPIK, SEMARANG -​ Times Higher Education (THE) kembali mengeluarkan hasil pemeringkatan untuk tingkat Asia pada awal Juni 2021. Hasilnya menempatkan Universitas Diponegoro (UNDIP) pada posisi ke-6 di Indonesia dan 401+ di Asia. The Times Higher Education Asia University Rankings 2021 menggunakan 13 indikator kinerja yang juga digunakan untuk melakukan pemeringkatan global dengan memberikan pembobotan yang dikalibrasi secara khusus untuk dapat merefleksikan prioritas-prioritas lembaga pendidikan di Asia.

Ketatnya penilaian yang dilakukan THE membuat hanya 9 perguruan tinggi di Indonesia yang berhasil masuk pemeringkatan berdasar urutan peringkatnya adalah Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, Universitas Telkom dan Universitas Brawijaya. Universitas Indonesia berada posisi puncak dengan total nilai 32,9. THE melakukan penilaian terhadap 13 indikator kinerja meliputi empat misi utama pendidikan tinggi yaitu pengajaran, penelitian, alih pengetahuan kepada masyarakat luas dan kiprah internasional. Tahun ini, UNDIP berhasil meraih nilai yang cukup tinggi pada sitasi dan penelitian.

UNDIP berada pada posisi 401+ dengan nilaii range keseluruhan (overall) 12,9-21,6 dan overall calculation 19,8. Sitasi 15; industry income (alih pengetahuan ke dunia industri); 43,2, international outlook (dihitung berdasar rasio jumlah pengajar, mahasiswa, staf asing serta kerja sama internasional) 26,5; penelitian 12,8 dan pengajaran 24,9.

Kepala Kantor Pemeringkatan UNDIP, Prof. Dr. Denny Nugroho, ST., M.Si, mengatakan bahwa THE mengacu pada urutan huruf (alphabet) untuk kelompok peringkat rentang yang sama yaitu 401+ dengan nilai skor overall 12,9-21,6. Sedangkan jika dilakukan perhitungan dan analisis data berdasarkan indikator Citation (30%), Industry income (7,5%), International outlook (7,5%), Research (30%), Teaching (25%), maka nilai skor total UNDIP adalah 19,8 sehingga berada pada urutan ke-6 nasional.

“Kami sudah melakukan perhitungan dan mengurutkan berdasarkan nilai skor totalnya. Bila tidak cermat dan hati-hati kita bisa keliru memaknainya. Beberapa media biasanya hanya melihat urutan yang ada di website untuk melihat urutan pemeringkatannya,” kata Prof. Denny Nugroho, Minggu (6/6/2021).

Hasil pemeringkatan saat ini menjadi salah satu acuan penting yang dipakai pelajar dan keluarganya dalam memilih universitas. Pemerintah dan kalangan perguruan tinggi juga menjadikan hasil pemeringkatan THE sebagai acuan berbagai kebijakan. Tingginya kebutuhan atas hasil pemeringkatan dibuktikan dengan jumlah kunjungan yang tinggi terhadap website THE World University Rankings, di mana dalam setahun jumlah kunjungan mencapai hampir 30 juta.

Rektor UNDIP, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH., M.Hum, menegaskan perguruan tinggi yang saat ini dipimpinnya terus melakukan penyempurnaan agar kualifikasi lulusan dan proses pembelajarannya makin membaik dan sesuai dengan cita-cita yang digariskan. “Kami terus mendorong kualifikasi para dosen dengan program one professor one candidate. Untuk riset, bukan hanya dosen dan peneliti yang terus menghasilkan karya ilmiah bereputasi, mahasiswa juga kita dorong dan fasilitasi supaya bisa menghasilkan karya inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat,” kata Prof Yos Johan.

Kinerja universitas merupakan hal yang penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang unggul, serta pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai gambaran betapa pentingnya penguatan lembaga pendidikan tinggi, pemerintah Jepang mengumumkan rencana meningkatkan alokasi dana abadi sebesar £70 billion untuk penelitian di universitas untuk merespons kinerja peringkat universitas-universitas negeri matahari terbit yang sempat turun pada beberapa tahun belakangan ini. (Adm, Dhany dan Tim Humas)